Opini

KUA, Layanan Lintas Agama, dan Perspektif Moderasi Beragama

Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Baru-baru ini, Kementerian Agama menggulirkan wacana optimalisasi peran KUA sebagai layanan lintas agama, termasuk pencatatan pernikahan. Secara legal formal, ide pencatatan nikah lintas agama sebenarnya masih terkendala dengan regulasi pencatatan pernikahan yang masih berlaku. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya, menyatakan, bahwa pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan "pegawai yang sah" adalah penghulu untuk penganut Islam dan pegawai pencatatan sipil untuk non-muslim.

Selain itu, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 2020 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Provinsi dan Kabupaten Kota disebutkan, pencatatan perkawinan non muslim menjadi tugas dan tanggung jawab Disdukcapil, yaitu Bidang Fasilitasi Pencatatan Sipil.

Meskipun masih menghadapi kendala, wacana pencatatan pernikahan terintegrasi di KUA, memiliki reasoning yang cukup kuat. Sebagaimana yang sering disampaikan Gus Men Yaqut Cholil Qoumas, dari segi penamaan, KUA (Kantor Urusan Agama), harusnya melayani semua agama, bukan hanya agama tertentu. Selain itu, pencatatan nikah yang terintegrasi oleh satu lembaga, akan mempermudah pendataan yang dilakukan. Selain beberapa reasoning di atas, tulisan ini akan mengekplorasi pentingnya wacana layanan nikah terintegrasi di KUA, dalam perspektif moderasi beragama (MB).

Salah satu semangat MB adalah toleransi, persamaan, harmoni, penghormatan terhadap perbedaan, dan seterusnya. Membeda-bedakan layanan keagamaan, dapat menciderai tersemainya nilai-nilai universal di atas. Jika keberadaan KUA dimaksudkan untuk melayani kegiatan keagamaan, seharusnya pelayanan yang dilakukan tidak hanya untuk agama tertentu, tapi juga untuk semua agama yang ada di Indonesia.

Persoalannya, fungsi KUA hanya untuk melayani agama tertentu sudah terlanjur menjadi konstruksi sosial masyarakat Indonesia sejak lama, khususnya kalangan muslim. Praktik sosial yang sudah berlangsung lama, tidak mudah untuk diubah. Hal ini mirip dengan program penguatan MB. Konstruksi sosial sebagian masyarakat yang sudah sejak lama memahami agama sebagai doktrin kaku, terjebak pada aspek identitas dan primordial sempit, tidak serta merta berubah dalam waktu singkat. Meskipun MB menyajikan aspek yang sangat rasional dan sesuai dengan akal sehat, bahwa sejatinya esensi agama itu mengampanyekan nilai-nilai universal, seperti kemanusiaan, kemaslahatan umum, dan keadilan, namun perubahan pandangan keagamaan masyarakat tidak mudah terjadi.

William Fielding Ogburn, melalui teori cultural lag menyampaikan, bahwa keyakinan, nilai, dan praktik yang telah tertanam lama dalam masyarakat cenderung bertahan dan sulit diubah. Pada konteks agama, pandangan keagamaan lama dari masyarakat tidak mudah diubah, karena keterikatan yang kuat dengan tradisi dan norma yang sudah ada (Ogburn 1992).

Sebagai Negara yang multikultur, khususnya pada aspek agama dan kepercayaan, Indonesia harus mampu menumbuhkan sikap toleran sekaligus perlakuan yang sama terhadap perbedaan. Jika tidak, fenomena keragaman agama, bisa menjadi bahaya laten bagi kehidupan bernegara. John Locke, seorang Filosof abad 17, dalam karyanya yang cukup terkenal, "A Letter Concerning Toleration" mengatakan, bahwa semua agama harus mendapat perlakuan yang sama dari Negara. Locke melanjutkan, bahwa Negara harus netral, tidak boleh memihak atau mendiskriminasi agama tertentu atas yang lainnya.

Ide Kementerian Agama untuk menjadikan KUA sebagai tempat layanan semua agama, harus diapresiasi sebagai upaya pemerintah untuk memberikan perlakuan yang sama, dus tidak mendiskriminasi satu agama terhadap agama lainnya. Dalam perspektif MB, menjadikan KUA sebagai tempat layanan semua agama termasuk pencatatan pernikahan adalah hal yang simpel dan sederhana. Akal sehat manusia dengan segera dapat menangkap, bahwa ide ini sesuai dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan. Namun, praktiknya, wacana ini berbenturan dengan tembok tebal, berupa konstruksi sosial yang sudah lama tertanam kuat. Tidak hanya terkait dengan mental model, benturan ini juga terkait dengan pranata-pranata pendukung, seperti sarana, SDM, dan lainnya.

Meskipun mendapat tantangan, tapi upaya untuk mendukung wacana ini harus terus digulirkan, khususnya oleh para pendukung penguatan MB. Penguatan MB tidak bisa hanya mengandalkan pelatihan. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengubah struktur sosial, demi terciptanya keadilan, toleransi dan rasa saling percaya di antara pemeluk agama. Salah satu upaya mengubah struktur sosial adalah dengan menjadikan KUA, sebagai tempat layanan semua agama, termasuk pencatatan pernikahan. Struktur sosial, merupakan salah satu aspek yang memberikan kontribusi bagi terbentuknya konstruksi sosial. Penguatan MB, harus dilakukan dengan mengubah sedikit demi sedikit struktur sosial, ke arah yang lebih bersemangat toleransi, kemanusiaan, keadilan, dst.

Jika struktur sosial mendukung terwujudnya toleransi, konstruksi sosial perlahan akan mengikuti. Biasanya, budaya/agama mayoritas, bersifat superior, sekaligus cenderung hegemonik terhadap kepercayaan minoritas (Kholiq, 2013). Karenanya, konflik, diskriminasi, bahkan kekerasan kerap dilakukan kelompok mayoritas kepada minoritas. Mental model mayoritarianisme itu salah satunya terjadi, karena struktur sosial yang mendukung. Misalnya saja aturan atau regulasi yang hanya menguntungkan mayoritas, serta keberadaan berbagai lembaga yang mengukuhkan dominasi mayoritas.

Sebagai Negara besar, relasi mayoritas-minoritas di Indonesia lebih rumit. Agama tertentu merupakan mayoritas di wilayah tertentu, namun dia menjadi minoritas pada wilayah yang lain. Begitu pun sebaliknya. Dampaknya, diskriminasi mayoritas atas minoritas pada sebuah daerah, akan dibalas pada daerah lainnya yang relasi mayoritas-minoritasnya berbanding terbalik. Kondisi ini semakin menuntut adanya regulasi yang menumbuhkan toleransi, sekaligus meminimalisir terjadinya diskriminasi mayoritas terhadap minoritas.

Ide menjadikan KUA sebagai layanan semua agama, menurut saya berkontribusi bagi terwujudnya regulasi, sekaligus struktur sosial yang dapat menumbuhkan harmoni. Untuk aspek layanan pencatatan nikah, keberadaan regulasi yang sudah ada sebenarnya bukan kendala. Regulasi tersebut bisa saja diubah, asalkan alasannya rasional, sudah melalui kajian, serta mendapat dukungan dari masyarakat, khususnya yang perduli pentingnya menjaga kerukunan dan keharmonian di Indonesia.

Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, Indonesia)


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Opini Lainnya Lihat Semua

M. Fuad Nasar (mantan Sesditjen Bimas Islam. Saat ini Kepala Biro AUPK UIN Imam Bonjol Padang)
Imsak Setelah Puasa

Keislaman Lainnya Lihat Semua