Hikmah

Transformasi Tiga Ujung

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)

Masih tentang tiga ujung. Saya memulai dengan menetralkan ketabuan, khususnya saat mendiskusikan salah satu dari filosofi "tiga ujung". Saya mengutip untaian sastrawan kawakan kita yang bait-baitnya banyak menyisir budaya Bugis Makassar, Kyai Zawawi Imron:

"Di antara 3 ujung itu ada satu materi yang tabu untuk disebut dan diucapkan, tapi karena sudah naik ke ranah filsafat, barang yang punya tugas porno itu menjadi barang suci dan substansial. Di sinilah pentingnya makna dan nilai."

Filosofi "tiga ujung" sudah begitu lama diulas oleh para sejarawan dan budayawan Makassar. Bahkan sudah sering dipentaskan dalam bentuk puisi atau sajak yang menggambarkan kepahlawan Bugis-Makassar saat berada di rantau. Filosofi "tiga ujung" menunjukkan supermasi perantau Bugis-Makassar yang secara historis, dikenal memiliki tradisi "disapora."

Saya betul ikut belajar dengan respon para pembaca tentang pengetahuan mereka yang terkait dengan filosofi "tiga ujung" ini. Pertama, "tiga ujung" bukan dimaknai sebagai filosofi penaklukan kepada yang lain, tetapi lebih kepada pengikatan atau percampuran diri kepada yang lain. Jadi filosofi ini tidak bersifat hegemonik namun lebih bersifat inklusif. Artinya, filosofi ini dipakai sebagai pegangan yang menjadi modal sosial untuk bisa diterima di daerah rantau dengan segala keunikan strukutur sosial yang mereka miliki.

Kedua, penjelasan dari para budayawan, filosofi ini bukan sesuatu yang terpisah, tetapi satu kesatuan dan memiliki urutan dalam implementasinya. Jadi pertama, yang diterapkan adalah "ujung lidah". Maknanya adalah kemampuan berkomunikasi, kehebatan melobi, kelenturan memainkan kata, atau memilih diksi yang tepat untuk bisa diterima di rantau. Rahman Arge, Sastrawan ulung Bugis Makassar, menggambarkan secara indah tentang "ujung" yang pertama ini: "santun tapi tajam dalam berkata-kata."

Kalau ujung pertama tidak manjur, maka cara yang kedua adalah mengkapitalisasi peran "ujung itu". Ujung yang mana? Ujung yang itu, sudah paham kan? Penggunaan "ujung itu" sebagai simbol dari upaya asimilasi, yaitu menikah dengan penduduk asli di rantau orang. Srategi penggunaan ujung ini bukan sembarang diterapkan tetapi digunakan dengan tepat guna. Yang dinikahi adalah keturunan dari orang yang berpengaruh, kalau bisa dengan keluarga kerajaan, bahkan anak raja.

Ujung yang ketiga adalah "ujung badik" dipakai sebagai alternatif terakhir, sekaligus dijadikan sebagai simbol kejantanan. Artinya, bila ujung kedua tidak efektif untuk menyelesaikan masalah kehidupan di rantau, maka dipakailah filosofi ujung ketiga ini. Jadi ujung ketiga ini adalah pilihan terakhir, saat ujung pertama dan ujung kedua mengalami kebuntuan.

Jadi saya melihat, filosofi "ujung" ketiga lebih kepada, "strategi bertahan hidup," atau meminjam bahasa Bapak Irjen Andi Rian Djajadi, "kemampuan bertahan hidup dalam situasi apapun." Ujung ketiga ini sekaligus menjadi bekal yang niscaya disiapkan untuk menjadi perantau ulung, bahwa ada situasi ketidakpastian hidup di mana segalanya mengalami kebuntuan hidup, nyawa-pun sering menjadi taruhannya.

Filosofi yang ketiga ini juga bisa menjadi sebuah nilai juang, simbol keberanian, dan penyemangat untuk bertahan hidup. Filosofi inilah yang melengkapi filosofi perahu finisi, yang digambarkan dalam pepatah: "sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai."

Terakhir, bagaimana transformasi tiga ujung ini pada masyarakat Bugis Makassar dalam kehidupan modern? Izinkan saya merekam ulang perbincangan saya dengan seorang teman kuliah yang orang Australia, saat "mondok' di Australian National University (ANU). Dia tanya saya: Anda suku apa? Saya jawab, saya orang Bugis. Dia tanya lagi, anda bawa badik ke sini? Saya jawab, betul. Tanya lagi, bisa lihat? Saya jawab, Ini badik saya, sambil memperlihatkan pulpen. Saya jelaskan, jenis "badik" inilah yang membuat saya berani melakukan pengembaraan ilmu pengetahuan. Jadi saya mentransformasi makna "ujung badik" menjadi "ujung pulpen" tetapi tetap mengambil spirit nilai juang dari badik itu.

Masih banyak respon tentang "tiga ujung". Salah satu teman menyarankan seharusnya bertambah menjadi "empat ujung." Yang keempat adalah "ujung jari," khususnya untuk anak-anak generasi Z. Saya langsung tebak, itu pasti maksudnya, penggunaan jari-jari untuk pesan makanan secara online di gadget.


Editor: Moh Khoeron
Fotografer: Istimewa

Hikmah Lainnya Lihat Semua

Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Koordinat
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Nol
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Kumpul
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Temu
Hamdan Juhannis (Rektor UIN Alauddin)
Titik Jenuh

Artikel Lainnya Lihat Semua